Sampul gambar pondok peternakan

Angin malam berhembus pelan, di Padang luas yang sunyi. Dingin merayap hingga ke tulang. Di kejauhan, domba-domba berkumpul saling menghangatkan tubuh mereka, dengan bulu tebal milik mereka. Sapi-sapi memilih berdiam di kandang, bagi mereka lebih hangat lebih aman. Kuda-Kuda pun meringkuk, di dekat jerami di kandang mereka.Tapi tidak dengan Al-Dzarib.

Dialah kuda istimewa. Berbadan besar, berkulit hitam kemerahan dengan rambut cokelat keemasan. Sebuah tanda putih di kepalanya menambah kesan gagah dan tampak seperti legenda. Dengan derap langkah kuat, dan terarah, ia berlari kencang membelah lapangan seluas 45 hektar. Rintangan demi rintangan dilewatinya seolah medan itu miliknya.

Di atas punggungnya, berdiri sosok yang lebih kuat dari sekedar pengendara—seorang muslimah bercadar, tubuhnya tegap, sorot matanya tajam dengan menyandangkan busur khas Turkey di pundaknya. Namanya Liza. Dingin malam bukan penghalang baginya bukan pula alasan untuk membungkus diri dengan selimut tebal di balik kenyamanan kamar.

Dulunya, Liza kecil mondok di sebuah pesantren luar biasa dengan sistem pendidikan yang tidak biasa, di zaman itu. Di sana, berkuda, memanah, berenang, tracking, dan hiking adalah kegiatan belajar wajib. Dan, jika nilaimu tak mencapai target terbaik versimu sendiri, maka kamu pantas untuk tidak naik kelas. Tapi, disana juga, kamu bisa mengembangkan bakatmu seperti burung yang terbang di langit bebas.

Di masa latihan berkudanya, tak jarang ia gagal, bahkan terjatuh dari hewan yang ia kendarai tersebut. Tapi ia tak pernah meninggalkan medan tersebut, dikala ia terjatuh ia langsung bangkit dan justru memberi semangat juga ucapan maaf pada kudanya. Ketika belajar memanah, sering kali tembakannya melesat bahkan ketika rambahan, ia sering tidak mendapat poin dan tak dapat ikut babak selanjutnya. Ia pun juga beberapa kali menghilangkan dan merusakkan arrow temannya, karena kurang teliti dalam membidik.

Ia pun merasa sangat sedih, dan bahkan hampir down ketika berkali-kali melihat perkembangan teman-temannya melesat cepat bagai anak panah. Sementara ia mendapat banyak komentar oleh guru atas kekurangannya ketika mengendarai kuda, dan ketika memanah. Syukurlah teman-temannya mengerti, dan selalu menyemangatinya.

“Kamu pasti bisa Za!” “ Kamu kan khalifah, jangan nyerah dong” Kata kakak pembimbingnya.

Dari dukungan tersebutlah semangatnya membara kembali. Dan ia akhirnya yakin, banyaknya kegagalan yang ia dapati bakal menjadi kesuksesan yang besar. Liza telah melewati banyak hal. Ia bukan hanya belajar berkuda memanah dan merawat hewan ternak – ia belajar tentang hidup. Tentang ketangkasan, ketekunan, kepemimpinan, kebersamaan dan ketahanan hidup, semua itu, ia dapatkan sejak di pesantren tempat ia tumbuh sebagai santri dan manusia seutuhnya.

Kini, Liza adalah pendiri sebuah pondok peternakan di negeri dengan julukan Negeri Kincir Angin – Netherlands. Berawal dari merintis pondok pusat, yang dimiliki keluarga besarnya, terletak di Pacitan, Jawa Timur. Pondok-pondok itu tak seperti pondok biasa. Di sana, Liza juga memberikan fasilitas sekolah peternakan dan furusiyyah. Hingga pondok tersebut telah melahirkan ratusan peternak, dan atlet berkuda, bertaraf internasional. Tak hanya berdiri di satu tempat, sekolah ini telah merambah ke berbagai negara.

Dan malam ini, ketika semua orang tidur dalam selimut tebal Liza justru menghabiskan waktunya di atas pelana bersama Al Dzarib, kuda kesayangannya yang dinamai seperti kuda baginda nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Tak lupa, busur gagah menyertai dipundaknya. Ia menikmati me time bersama kuda dan busurnya, serambi mengingat masa lalu. Bukan untuk menyesali tapi untuk mensyukuri dari santri kecil yang sering tertinggal kini ia menjadi pemimpin perubahan.

Dear Para Pemimpin Dunia

Kamu tak harus menjadi yang tercepat atau paling sempurna, tapi jadilah yang paling bertahan. Karena kemenangan, bukan milik mereka yang hebat sejak awal, tapi, milik mereka yang tak pernah berhenti melangkah.